Menyambut Valentine: Sisi Gelap Perhiasan Emas

Artikel berikut ini mengungkapkan beberapa sisi gelap yang jarang terlintas di benak pencinta perhiasan.

Penggalan gambar di sebelah adalah landscape dari salah satu perusahan tambang logam untuk perhiasan terkemuka di Indonesia. Apakah mereka sudah memperhitungkan aspek lingkungan dalam gerak mereka? Mudah-mudahan jawabannya YA.
Kepedulian terhadap lingkungan semestinya sejalan dengan esensi perhiasan itu sendiri, untuk mencerahkan kehidupan, bukan membunuh kehidupan.


Valentine dan Emas
Oleh Siti Maemunah
Dimuat majalah FORUM, 18 Februari 2008

Perhiasan Emas ternyata menyimpan sisi gelap, yang tak diketahui pemakainya. Sisi yang jauh dari makna kasih sayang, yang diungkap pasangan kekasih di hari Valentine.

“Buat kisah cintamu bersinar di hari Valentine dan jadikan kenangan manis yang abadi”. Itu bunyi salah satu iklan perhiasan emas dan berlian di satu koran nasional, menyambut peringatan hari Valentine, setiap 14 Februari.

Hari Valentine dikenal sebagai hari kasih sayang. Meski di Indonesia, beberapa kelompok memprotes perayaannya. Tapi hari itu tetap diperingati sebagai hari khusus, untuk saling mencurahkan rasa sayang pada pasangannya atau orang lain, yang mereka sayangi.

Biasanya, itu mereka wujudkan dengan memberi kejutan spesial. Mulai dengan berkirim kartu, makan malam hingga memberi hadiah perhiasan emas dan berlian.

Sejak lama, perhiasan emas dan berlian dipilih sebagai simbol cinta kasih. Sebab, dalam kondisi apapun, ia tak mudah berubah, baik warna, kilau maupun bentuknya. Itu simbol keabadian. Dan tiap pasangan, tentu mendambakan kasih sayang abadi, tak rusak oleh badai, tak lekang oleh jaman.

Tak heran, jika di hari Valentine, penjualan perhiasan naik pesat. Jewelry Consumer Opinion Council, yang melakukan jejak pendapat di Amerika Serikat, menyebut perhiasan sebagai hadiah paling diminati di hari Valentine.

Sayang, tak banyak pasangan yang tahu darimana perhiasan emas dan berlian itu digali. Mereka tak tahu, penggalian emas meninggalkan warisan buruk yang abadi bagi warga sekitar pertambangan.


Harga Emas Sebenarnya

Jika berkunjung ke www.nodirtygold.org, kita akan tahu bagaimana sebuah cincin emas dihasilkan. Ternyata untuk membuatnya, dibuang sedikitnya 20 ton limbah. Di tambang Newmont di Sulawesi Utara misalnya, untuk mendapatkan satu gram emas dibuang 2,1 ton limbah batuan dan lumpur tailing. Belum lagi 5,8 kilogram emisi beracun, berupa 260 gram Timbal, juga 6,1 gram Merkuri dan 3 gram Sianida. Limbah ini kelak, diwariskan kepada penduduk lokal dan lingkungan sekitar.

Pertambangan adalah industri yang beresiko. Perusahaan tambang menggunakan bahan kimia Merkuri dan Sianida untuk memisahkan emas dari bijih batuan. Pencemaran oleh dua bahan kimia tersebut sangatlah berbahaya. Sianida seukuran biji beras saja, bisa berakibat fatal bagi manusia, sepersejuta gramnya dalam seliter air bisa fatal bagi ikan.

Dua tahun lalu, pertambangan logam dinyatakan sebagai pencemar nomer satu di Amerika Serikat. Mereka bertanggung jawab terhadap 84 hingga 89 persen Arsen, Merkuri dan Timbal yang mencemari. Tambang emas juga dikenal sebagai salah satu industri yang paling merusak di dunia.

Satariah, perempuan dayak Siang Bakumpai sudah merasakan daya rusak itu.Ia tinggal di desa Oreng Puruk Cahu Kalimantan Tengah. Ia punya ladang di tanah adat, luasnya sekitar 15 hektar. Hasil panen ladang ini cukup untuk menutup kebutuhan pangan setahun, malah kadang berlebih. Sejak perusahaan tambang emas skala besar – PT Indo Muro Kencana (IMK) dari Australia datang pada1986, semuanya berubah.

Awalnya, perusahaan dibantu aparat pemerintah setempat merampas tanah Satariah dan warga lainnya. luas ladang keluarganya tersisa tak kurang dari satu hektar. Akibatnya buruk. Panen padi tak cukup lagi untuk dimakan harian. Tiap bulan, untuk makan keluarganya yang lebih selusin itu, ia harus membeli beras tambahan, sedikitnya 3 karung.

Tak hanya itu, sungai besar yang mengalir disana tercemar limbah perusahaan. Sejak air sungai berubah keruh, ikan susah ditangkap. Sebelum itu, Satariah dapat memasak ikan segar tiap hari, untuk keluarganya. Sekarang jika mereka ingin makan ikan, ia harus membeli ikan asin.

Urusan mandi dan minum tak kalah sulit. Untuk mendapat air bersih, Satariah harus berjalan jauh. Ia tak mau keluarganya celaka, seperti ternak peliharaannya. Pada suatu hari, dua ekor kerbaunya ditemukan mati di pinggir sungai, pada saat air sungai berubah warnanya menjadi putih. Kerbau itu biasa merumput di tepi sungai dan meminum air sungai.

Tak hanya Satariah, Di teluk Buyat Sulawesi Utara, Surtini, perempuan Buyat pante ini juga jatuh bangun setelah PT Newmont, membuka tambangnya. ”Kami terpaksa menggunakan satu-satunya sumber air, yaitu sungai Buyat, yang berlumpur dan tercemar untuk mandi dan mencuci. Dulunya, air itu bening dan bisa dikonsumsi. Sekarang, kebutuhan air minum dipasok PT Newmont”, tutur Surtini sebelum memutuskan pindah dari kampungnya. Celakanya, ia tak tahu air tersebut terkontaminasi logam berat Arsen. Ia dan warga disana baru tahu setelah pemerintah pusat melakukan penelitian.

Newmont mengakhiri tambangnya lima tahun lalu, meninggalkan lubang-lubang raksasa bekas galian di kawasan perbukitan dan lebih 5 juta ton limbah tailing di teluk Buyat.

Saat ini, harga sebuah perhiasan cincin emas seberat 10 gram sekitar Rp. 2 juta. Itukah harga emas aslinya? Ternyata itu bukanlah harga sebenarnya. Harga aslinya, dibayar oleh pemiskinan penduduk lokal dan kerusakan lingkungan di sekitar logam itu digali. Dan kejadian ini tak cuma ada di Indonesia.

Di Charopampa Peru, ada 400 orang keracunan tumpahan Merkuri tambang emas milik Newmont. Di Philipina, ada 200 juta ton tailing dibuang ke teluk Calancan pulau Marinduke oleh Placerdome dari Kanada, selama 16 tahun. Di Papua Nugini, sepanjang 200 kilometer sungai Ok Tedi dan sungai Fly tercemar limbah tambang emas BHPBiliton dari Australia. Di Rumania, delapan tahun lalu, ada sekitar 120 ribu limbah beracun tambang emas Baia Mare tumpah dan berakibat buruk. Ia mencemari air minum sekitar 2,5 juta penduduk dan membunuh 1.200 ton ikan.

Tak hanya urusan limbah, intimidasi, kekerasan dan pembunuhan, kental terjadi di sekitar pertambangan emas. Di Papua, lebih dari 160 warga dibunuh sejak tahun 1975 hingga 1997 di sekitar tambang Freeport/ Rio Tinto . Banyak lainnya mengalami penyiksaan dan dinyatakan hilang. Sejak tahun 2002 hingga 2004, perusahaan membayar tentara sedikitnya 165,5 milyar untuk mengamankan tambangnya. Di Kongo - Afrika, Anvil Mining Ltd dari Kanada, menyediakan dukungan logistik bagi militer Congo FARDC. Sebuah misi Perserikatan Bangsa Bangsa melaporkan mereka menggunakan dukungan tersebut untuk serangkaian tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia di sana.

Ternyata, sebagian besar emas yang dikeruk di dunia dengan segala carut marut diatas, digunakan untuk membuat perhiasan. Di Amerika Serikat misalnya, sekitar 80 persen emas berakhir di etalase toko perhiasan.

Bicara perhiasan, tentu tak lepas dengan perempuan. Merekalah yang banyak menggunakan perhiasan. Ironinya, perempuan juga kelompok yang paling rentan menerima dampak daya rusak pertambangan. Salah satunya dalam bentuk pelecehan dan kekerasan seksual.

Seperti yang terjadi pada pertambangan emas milik Rio Tinto dari Australia, PT Kelian Equatorial Mining di Kalimantan Timur. Ada 21 kasus pelecehan seksual yang dilaporkan terjadi disana. Sejumlah 17 kasus diantaranya adalah kasus perkosaan. Dari angka itu, 16 kasus - pelakunya adalah karyawan perusahan, dimana 7 kasus diantaranya dilakukan oleh salah seorang petinggi perusahaan - warga negara Australia. Umumnya, perempuan yang menjadi korban adalah mereka yang datang untuk melamar pekerjaan. Itu terjadi sepanjang tahun 1987 hingga 1997.

Sayang, kasus yang ditangani Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak tahun 2000 itu, tak pernah sampai ke meja hijau. Pada 2002, perusahaan bersedia melakukan negosiasi dan setuju memberi ganti rugi kepada korban perkosaan. Angka ganti kerugian paling tinggi yang diterima para korban sebesar Rp. 18 juta. Di Media lokal, perusahaan memberitakannya sebagai santunan.

Sungguh, ternyata harga emas sangat mahal bagi penduduk dan lingkungan sekitarnya. Padahal, jika direnungkan mendalam, tambang emas bukanlah industri yang penting. Ia tak sepenting industri makanan bahkan industri kertas, yang menghasilkan barang kebutuhan sehari-hari.

Jika sebagian besar emas yang digali berakhir menjadi perhiasan, mestinya dunia tak membutuhkan banyak emas. Tapi anehnya, ijin pertambangan baru banyak dikeluarkan oleh pemerintah, tambang-tambang emas skala raksasa terus lahir, macam PT Meares Soputan Mining di Sulawesi Utara dan PT Sorikmas Mining di Sumatera Utara. Yang pilu, praktek yang mereka lakukan tak beda dengan para pendahulunya.

Diramalkan, sepanjang 1995 hingga 2015, separuh dari produk emas yang diproduksi digali dari wilayah kelola masyarakat adat. Bisa dibayangkan, banyak lagi cerita pilu macam Satariah akan muncul.

Kemilau perhiasan emas ternyata menyimpan sisi kotor dan gelap, yang tak diketahui pemakainya. Sisi yang jauh dari makna kasih sayang, yang diungkap pasangan kekasih di hari Valentine.


Oleh Siti Maemunah
Dimuat majalah FORUM, 18 Februari 2008


Related Posts by Categories



0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2008 - Dunia Perhiasan - is proudly powered by Blogger